PENDEKATAN ETNOFOTOGRAFI DALAM KARYA FOTO DOKUMENTER (391-396)

Author: I Dewa Gede Purnama Yasa

Cite: Purnama Yasa, D. (2020). PENDEKATAN ETNOFOTOGRAFI DALAM KARYA FOTO DOKUMENTER. SENADA (Seminar Nasional Manajemen, Desain Dan Aplikasi Bisnis Teknologi), 3, 391–396. Retrieved from https://eprosiding.idbbali.ac.id/index.php/senada/article/view/321

DOI:

Keywords: Ethnophotographic, Documentary photography


📝 Ringkasan

Kerumitan Kehidupan Sehari-hari

  • Tidak hanya permukaan: Memahami bahwa kehidupan sehari-hari lebih kompleks daripada sekadar pakaian adat, upacara, atau penampilan wajah.

Sensitivitas dalam Pendekatan Subjek

  • Hindari menyinggung: Penting untuk tidak menyudutkan, merugikan, atau menyakiti subjek saat mendekati dan memotret mereka.

Nilai dan Kepercayaan Lokal

  • Menghargai nilai lokal: Perlu menghormati nilai, kepercayaan, dan tabu lokal.
  • Pendekatan awal penting: Membangun rasa saling pengertian dimulai dari pendekatan yang baik, seperti dengan memahami dan menghormati kepercayaan dan kebiasaan lokal.

Pemahaman dan Tujuan Fotografi

  • Mendalami kepercayaan lokal: Perlu memahami nilai-nilai kepercayaan lokal serta menyampaikan maksud dan tujuan kita secara jelas.
  • Makna foto (Kisah Mata, Seno Gumira Ajidarma): Foto dapat mengundang cerita dan makna hadir dalam pemahaman subjek, bukan hanya dalam gambar itu sendiri.

Keberaksaraan Visual (Visual Literacy)

  • Memanfaatkan keterampilan: Seperti semiotika, sejarah, dan seni untuk membuat gambar bermakna.
  • Menyusun petunjuk visual: Kemampuan membuat gambar yang bisa dibaca orang lain dengan makna yang jelas.
  • Memperkaya rujukan: Memperbanyak referensi untuk memperkaya makna dalam foto dan memperkuat keberaksaraan visual kita.

Foto sebagai Sepilihan Peristiwa

  • Momen yang terbekukan: Foto membekukan satu momen dari rentang waktu yang terus berjalan.
  • Rekaman visual: Mencerminkan momen yang terbekukan, tetapi bukan peristiwa itu sendiri.
  • Wawasan juru foto: Mempengaruhi momen yang dipilih untuk direkam dan bagaimana momen itu direpresentasikan.

Objektivitas dan Realitas dalam Fotografi

  • Rekaman vs. Realitas: Foto dapat menghadirkan realitas secara visual namun tidak mengungkapkan dunia secara utuh.
  • Pesan dalam foto: Selain representasi visual, foto juga mengandung pesan yang ditafsirkan dari perspektif fotografer.

Pentingnya Kisah dalam Fotografi

  • Memahami kisah: Mengetahui apa yang ingin diceritakan melalui foto adalah kunci untuk penyampaian yang efektif.
  • Pendekatan subjek: Pendekatan yang baik membantu dalam memahami subjek dan kisah mereka secara mendalam.

Representasi dan Pengamatan dalam Etnografi

  • Menghindari bias: Penting untuk menghindari bias dalam pengamatan dan penceritaan.
  • Naturalisasi momen: Memastikan momen yang direkam adalah alami dan bukan hasil intervensi fotografer.

Teknik dan Penyampaian dalam Fotografi

  • Objektifikasi dan eksotisasi: Menghindari menjadikan subjek sebagai objek semata dan pandangan eksotis.
  • Konteks sesuai: Menyampaikan kisah subjek secara apa adanya dan dalam konteks yang sesuai, dengan menghargai nilai-nilai dan kepercayaan lokal.

📑 Highlights

Dalam disiplin antropologi pada umumnya yaitu mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun etnografi dalam rangka untuk menjawab persoalan (kebudayaan) tertentu


Fotografi dokumenter mengajarkan untuk melihat sesuatu lebih dalam, tidak hanya melihat sebuah realitas dari permukaannya saja, dan hal ini akan melatih kita untuk memiliki kepekaan terhadap suatu realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Realitas yang ditangkap kemudian direkam dalam bentuk foto dengan berdasarkan pendapat sebagai seorang fotografer.


Melalui fotografi orang tidak perlu lagi belajar melukis untuk dapat bercerita mengenai suatu benda atau objek yang berada di lokasinya. Inilah yang menjadi kelebihan fotografi


dibandingkan denga seni lukis yaitu dapat menggambarkan realita secara lebih baik dalam waktu yang lebih singkat pula (Risman, 2008 : 177).


Seiring dengan perkembangan zaman, fotografi yang berfungsi sebagai pencipta imaji yang dapat disebarluaskan sebagai rekaman peristiwa yang faktual dan terpercaya maka lahirlah documentary photography.


Data dikumpulkan dengan mengandalkan kekuatan indera pengelihatan (mata) yang dimiliki peneliti, namun pada prakteknya kemampuan mata manusia terbatas. Apa yang kita lihat hanyalah yang ingin kita lihat dan kita ingin menanggapinya (Collier, 1990). Sehingga seringkali kita memiliki perbedaan terhadap apa yang dilihat oleh orang lain walaupun dalam posisi geometris yang nyaris sama.


Fotografi dan sosiologi memiliki waktu kelahiran yang sama, yaitu pada saat Auguste Comte memberi nama Sosiologi sebagai ilmu, serta kelahiran fotografi pada tahun 1839 ketika Daguerre memunculkan karya fotografi pertamanya pada pelat logam


Etnofotografi merupakan merupakan perpaduan antara etno dan fotografi.


etnofotografi merupakan kerja etnografi yang menggunakan medium fotografi untuk menunjang kerja dalam pengumpulan data untuk bahan analisis.


Dengan demikian penggunaan materi fotografi menjadi bahan utama untuk beretnografi


Etnografi, dalam pengertian paling sederhana adalah tulisan, diskripsi, penggambaran, tentang suku bangsa tertentu. Diskripsi tersebut berisi tentang berbagai hal menyangkut kehidupan manusia, baik aspek fisik (ciri-ciri biologis) maupun non fisik misalnya nilai, adat istiadat, dan cara hidup.


Pada pengertian lebih lanjut etnografi mengacu pada metode, yaitu cara yang dilakukan untuk menghasilkan diskripsi (tulisan) tentang suatu kebudayaan


Penggunaan data visual dalam penelitian antropologi yang paling lazim adalah untuk ilustrasi terhadap persoalan apa yang diteliti. Ilustrasi tersebut setidaknya untuk meyakinkah bawa peneliti pernah hadir di sana (being there).


Metode etnografi tidak digunakan untuk mencari pembuktian dari gejala umum, namun mengamati gejala khusus dari suatu kelompok masyarakat secara mendalam melalui sudut pandang subjek. Etnografi di dalam praktik fotografi dikenal sebagai etnofotografi.


rasanya tidak bermakna, namun laku sehari-hari sejatinya merupakan perwujudan nilai kepercayaan masyarakat.


Juru foto senior Don Hasman sering menyampaikan, seorang etno(foto)grafer perlu memfoto semua segi kehidupan suatu kelompok kebudayaan secara lengkap dan apa adanya, sebagai dokumentasi untuk keperluan ilmu pengetahuan.


Dalam proses penciptaan seni fotografi, penting untuk tidak melibatkan diri dengan masalah label, apakah sebuah foto merupakan bagian dari fotografi dokumenter atau bagian dari sosiologi visual, fotografi sosial atau bagian dari foto jurnalisme, yang paling penting dari semua ini adalah persoalan konteks dimana hasil pemotretan dan penelitian tersebut disajikan.


Pengamatan mendalam dilakukan terhadap hasil foto yang terfokus pada makna sosiologisnya, yang berarti juga tentang keadaan fisik tempat dimana foto tersebut diambil. Konteks spiritualitas dari foto yang dihasilkan merupakan bonus yang muncul dari sifat dualitas genre foto dokumenter


Istilah foto esai merujuk pada presentasi dari serangkaian foto-foto bersama-sama dengan kata-kata tertulis.


Tujuan foto esai adalah untuk menyampaikan pokok-pokok naratif dari suatu gagasan atau pemikiran, sebuah cerita yang menunjukkan pengertian yang mendalam tentang aspek-aspek realitas kehidupan


Bahkan serangkaian foto-foto tanpa teks pun masih dapat dianggap sebagai foto esai.


metode foto esai, Elizabeth Chaplin (1995: 97) mengemukakan bahwa rangkaian foto dan tulisan dapat memberikan kontribusi penting bagi suatu kritik atau suatu pemikiran


Esai merupakan hubungan antar foto, seseorang harus mengembangkan kesadaran tentang hubungan yang ada, bukan hanya mengambil gambar saja.


Secara formal foto yang diambil oleh seorang antropolog tidak bisa dibedakan dari sebuah foto biasa yang diambil untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan artistik, seperti juga foto-foto yang diambil oleh seorang turis, tidak ada satu fotopun yang dapat diketahui sebagai foto dengan gaya antropologis


Meskipun etnofotografi mempunyai beberapa kesamaan dengan foto dokumenter, muatan estetik dan politik yang ditampilkan dalam sebagian besar foto dokumenter memisahkannya dari fotografi etnografi.


Dengan pendekatan etnografi, fotografi dapat mengungkap lapisan-lapisan kerumitan kehidupan sehari-hari, tidak berhenti pada warna-warni baju adat, atau keriuhan upacara, atau kemolekan wajah


Kita mesti peka di dalam mendekati subjek, agar jangan sampai menyinggung, menyudutkan, merugikan, atau menyakiti mereka.


Masing-masing kelompok masyarakat memiliki nilai, kepercayaan, dan anggapan tabu yang berbeda


Sebagai seorang yang berasal dari luar kelompok itu, kita mesti menghargai nilai-nilai lokal, khususnya mengenai hal-hal khusus dan aksesnya terbatas tersebut.


Di sinilah sesungguhnya pendekatan menjadi langkah awal yang amat penting untuk membangun rasa saling pengertian


Kita perlu lebih memahami nilai kepercayaan lokal, sementara subjek juga perlu lebih memahami maksud dan tujuan kita.


Di dalam buku Kisah Mata, Seno Gumira Ajidarma mengajukan pertanyaan:
Sebuah foto bercerita, diberi cerita, atau mengundang cerita? Buku itu kemudian membahas, betapa makna tidak berada pada foto itu sendiri, namun hadir di dalam pemahaman subjek


Dengan demikian, untuk dapat berkisah melalui foto, kita perlu memahami keberaksaraan visual (visual literacy).


bagaimana kita mampu memanfaatkan serangkaian keterampilan (seperti semiotika, sejarah, seni, atau lain sebagainya) untuk membuat suatu gambar yang kita lihat menjadi bermakna bagi kita.


secara visual (visually literate) bukan hanya soal mampu membaca makna di dalam suatu gambar atau foto, melainkan juga mampu menyusun petunjuk yang bermakna ke dalam gambar atau foto, agar dapat dibaca oleh orang lain.


Makna sendiri terbentuk dari rujukan yang kita punya, sebab itu kita perlu memperkaya perbendaharaan rujukan, agar mampu mendapatkan makna yang lebih kaya pula di dalam membuat dan membaca foto.


Sebuah foto hanyalah sepilihan dari keseluruhan peristiwa yang terus-menerus berlangsung.


Sebuah foto membekukan suatu momen dari rentang waktu yang terus berjalan ke dalam suatu bingkai,


Rekaman visual itu akan sesuai dengan momen yang terbekukan di dalamnya


perlu disadari, bahwa rekaman tersebut bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan hanya sebagian darinya. Wawasan juru foto mempengaruhi momen apa yang kemudian dipilih untuk direkam.


Fotografi sering dianggap sebagai medium yang dapat merekam sesuatu sesuai dengan aslinya, menghasilkan rekaman yang konon paling asli


rekaman fotografis dapat menghadirkan kembali realitas secara visual, namun rekaman visual ini bukanlah realitas itu sendiri. Sebuah foto di dalam objektivitasnya sendiri belum mengungkapkan sebuah dunia secara utuh. Sebuah foto tidak hanya representasi visual objek yang direproduksi, tetapi juga mengandung pesan.


Sebagai seorang juru foto, kita harus tahu terlebih dahulu apa yang mau dikisahkan sebelum kita mampu menyampaikannya melalui foto kita.


Kita perlu memahami poin-poin kunci di dalam topik atau kisah itu, siapa melakukan apa, di mana dan kapan, bagaimana dia melakukannya, mengapa demikian, dan sebagainya


pendekatan terhadap subjek penting, sebagai bagian dari upaya kita untuk meneliti dan memahami subjek dan kisahnya.


Kita perlu mencoba agar pengertian atau bahkan ego yang kita bawa itu jangan sampai menimbulkan bias di dalam pengamatan, karena etnografi amat bergantung pada representasi dan penceritaan.
Belum lagi, sifat fotografi yang hanya merekam kepingan momen, sehingga akan senantiasa menyisakan celah bagi pembaca yang awas untuk menggugat subjek yang direpresentasikannya.


Misalnya, apakah momen yang direkam itu kebiasaan yang sering dilakukan subjek atau hanya suatu kejadian tunggal atau apakah momen yang direkam itu terjadi secara alamiah atau ada campur tangan kita sebagai fotografer di situ.

contoh


Di samping pendekatan dan penelitian yang memerlukan kesabaran, sudut pandang pengamatan dan cara penyampaian hasilnya juga penting diperhatikan.


Dengan mengamati dan mendokumentasikan saja, kita telah secara teknis menjadikan subjek sebagai objek. Jika tidak dilakukan dengan waspada, kita bisa terjerumus untuk melakukan objektifikasi, yaitu menghilangkan nilai-nilai subjek dari kelompok kebudayaan yang kita amati tersebut, sehingga mereka menjadi objek semata.


sebagai pengamat asing yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, kita cenderung mudah terperosok untuk memandang subjek penelitian kita dengan tatapan eksotisisme.


Jebakan objektifikasi dan eksotisasi ini sebetulnya dapat dihindarkan jika kita mencoba untuk memahami betul segi-segi


kehidupan subjek yang kita amati itu, sehingga kita dapat menyampaikan kisah mereka secara apa adanya dan di dalam konteks yang sesuai.


Membaca buku dengan ReadEra
https://readera.org